Artikel Pengadilan
Reposisi Struktur Kewarisan Islam Berdasarkan Teori Wasiat Wajibah | Oleh : Drs. Isak Munawar, MH.
REPOSISI STRUKTUR KEWARISAN ISLAM BERDASARKAN TEORI WASIAT WAJIBAH
OLEH
Drs. ISAK MUNAWAR, MH
I. PENDAHULUAN
Hukum waris Islam yang dipelopori ulama terdahulu baik dari kalangan shahabat, tabiāin dan bahkan dari kalangan mujtahidin adalah salah salah satu hukum yang banyak diperdebatkan melalui pengkajian yang cukup panjang lebar. Salah satu contoh perdebatan ulama di kalangan shahabat antara lain adalah tentang hak kewarisan kakek, menurut Zaid bin Tsabit kakek adalah ahli waris langsung yang berhak mendapat bagian 1/6 secara fard. Penetapan hak kewarisan ini di keritik oleh Ibnu Abas bahwa ketika pewaris tidak meninggalkan ayah dan anak, maka semestinya hak kewarisan kakek menggantikan posisi ayah, sebagai mana ucu menggantikan posisi anak. Hak kewarisan dua orang anak perempuan menurut mayoritas shahabat mendapat 2/3 sedangkan menurut Ibnu Abas hanya mendapat 1/2 bagian dan masih banyak lagi persoalan yang lain.
Selain itu yang perlu pengkajian lebih dalam adalah ada sebagian pendapat yang menyatakan hubungan hukum kewarisan melalui nasab ditentukan oleh spermatozoid, tidak ditentukan oleh ovum. Sehingga dari pemikiran ini hubungan pewaris dengan anak-anak, memiliki perbedaan yang tajam, untuk anak laki-laki ia berkedudukan sebagai ahli waris beserta keturunannya betapapun jauhnya. Sedangkan untuk anak perempuan hanya sampai anak itu, keturunan anak perempuan tidak memiliki nasab (terputus nasab) dengan pewaris, karena mereka hanya memiliki hubungan yang diikat dengan rahim saja. Dari sinilah munculnya terminology dzaw al-arham dalam hukum waris yang dipahami ulama terdahulu. Oleh karena itu setiap kerabat pewaris yang dihubungkan melalui ahli waris perempuan, mereka adalah dzaw al-arham, tidak berhak tampil sebagai ahli waris, selama ada ahli waris yang lain, misalnya seluruh keturunan dari anak perempuan, seluruh anak dari saudara perempuan dan lain-lain.
Selengkapnya KLIK DISINI