Artikel Pengadilan

BAYI’ AL-WAFA SEBAGAI SOLUSI MENGHINDARI RIBA DALAM MEKANISME GADAI ADAT DI INDONESIA

BAYI’ AL-WAFA SEBAGAI SOLUSI MENGHINDARI RIBA DALAM MEKANISME GADAI ADAT DI INDONESIA

OLEH

Drs. ISAK MUNAWAR, MH

PENDAHULUAN

Bay’u al-wafa’ adalah salah satu sistem akad jual beli baru dalam hukum Islam, sebagai akibat dari kultur masyarakat dunia yang telah berubah dari sistem masyarakat ijtima’iy (kesatuan dan persatuan) yang diikat dengan ikatan persaudarahan yang universal menjadi masyarakat yang infirady (individual) dan matrealistik.

Dalam masyarakat individual matrealistik yang menjadi ciri pokoknya adalah lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan masyarakat pada umumnya dan segala aktivitas dalam kehidupan sehariannya hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak lagi memiliki fungsi sosial, melainkan hanya berfungsi untuk melampiaskan keinginan dirinya sendiri. Oleh karena itu seorang yang kaya enggan meminjamkan harta kekayaannya kepada orang lain yang membutuhkan, kecuali mendapatkan keuntungan sebagaimana kekayaan itu akan mendapat keuntungan bila diinvestasikan dalam perusahaan tertentu. Demikian pula dalam sebagian masyarakat muslim dunia telah terjadi perubahan paradigma dari norma meminjamkan harta kepada masyarakat miskin adalah merupakan ibadah yang bernilai tak terhingga menguntungkan dunia akhirat, menjadi norma meminjamkan harta kepada masyarakat miskin yang membutuhkan adalah kerugian besar, kecuali mendapat keuntungan materi. Mereka sadar bahwa mendapat keuntungan materi dari suatu pinjaman hukumnya riba. Untuk meng-hillah, agar tidak terjerumus riba inilah munculnya sistem  al-bay’u al-wafa’  

 

PEMBAHASAN.

Bay’u al-wafa’ baru dikenal sekitar pertengahan abad V Hijriyah di Bukhara dan Balkhan. Ketika itu di tengah-tengah masyarakat tersebut telah meluas sebuah kenyataan bahwa, si kaya yang mempunyai sejumlah uang tidak mau meminjamkan uangnya kepada orang yang membutuhkan (si miskin). Si kaya baru mau memberikan pinjaman uang, jika ia diberi hak untuk mengembangkan dan memanfaatkan harta jaminannya. Sementara itu, mereka tahu bahwa memanfaatkan barang jaminan oleh pemegang jaminan termasuk riba dan dilarang. Untuk menghindari larangan tersebut, mereka menggunakan akad bay’u al-wafa’. Dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi obyek jual beli harus kembali lagi kepada pemilik harta, maka akad ini mirip dengan rahn. Namun, jika dilihat dari sisi lainnya bahwa harta yang menjadi obyek jual beli tersebut bebas untuk diambil manfaatnya oleh penerima jaminan, akad ini mirip dengan bay’u secara umum. Sehingga, jual beli tersebut diperselisihkan di kalangan ulama.

  1. Pengertian Bay’u Al-Wafa’.

Al-Wafa’ menurut arti etimologi adalah menepati sedangkan dalam arti terminologi ulama mendefinisikan al-bay’u al-wafa’ dengan definisi yang berbeda-beda meskipun substasinya memiliki titik yang sama.  Al-Zaila’iy mendefinisikan al-bay’u al-wafa’ sebagai berikut:

أن يقول البائع للمشتري بعت منك هذا العين بدين لك علىَّ على أنِّي متى قضيتُ الدين فهو لي

Artinya “seorang penjual menyatakan kepada pembeli saya jual benda ini kepadamu dengan menghutang kepadamu atasku, apabila aku melunasi hutang, maka benda ini untukku”.

Ibnu Nujaim mendefinisikan al-bay’u al-wafa’ sebagai berikut dengan ta’rif  bi al-mitsal :

بعت منك هذا بكذا على أنِّي متى دفعت لك الثمن تدفع العين إليَّ

Artinya “saya jual benda ini kepadamu dengan harga sekian, kapan saja saya mengembalikan uang kepadamu, maka kembalikanlah benda itu kepada saya”. 

Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiahnya mendefinisikan al-bay’u al-wafa’ dengan:

أن يبيعه العين بألف على أنه إذا رد عليه الثمن رد عليه العين

Artinya “Menjual belikan benda dengan seribu (dirham), atas suatu janji apabila uang seribu dirham itu dikembalikan, maka benda itu juga akan dikembalikan kepadanya”.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tidak menyebutkan definisi bay’u al-wafa’ akan tetapi secara oprasional dinyatakan pada Pasal 112 ayat (1) KHES, sebagai berikut “Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan penjual dapat mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya di kembalikan”.

Dari berbagai macam definisi bay’u al-wafa’ tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk akad jual beli ini adalah sebagai salah satu bentuk akad jual beli ‘amanah, dalam akad jual beli tersebut terdapat syarat yang diperjanjikan dan disepakati kedua belah pihak, penjual berjanji akan mengembalikan uang sejumlah yang ia terima kepada pembeli dan pembeli berjanji akan mengembalikan barang yang ia beli kepada penjual setelah ia menerima kembali uangnya.

Terminologi akad jual beli al-wafa’ ini adalah penamaan yang dikemukakan Madzhab Al-Hanafiyah, dalam Madzhab yang lain digunakan terminologi lain, seperti pada Madzhab Al-Malikiyah menyebutnya dengan Bay’u Al-Tsunaya, pada Madzhab Al-Syafi’iyah menyebutnya dengan Bay’u al-‘ahdah dan pada Madzhab Al-Hanabilah menyebutnya dengan Bay’u al-‘amanah. Demikian pula penamaan bentuk akad jual beli ini berbeda dengan berbedanya wilayah di Mesir misalnya akad jual beli ini dinamakan bay’u al-‘amanah, di Syaam akad jual beli ini dinamakan dengan bay’u al-‘itha’ah.

Selain berbeda menggunakan terminologi untuk akad jual beli model ini, ulama juga berbeda dalam meletakan jual beli ini dalam pembahasannya.  Al-Hathaby membahas bentuk jual beli ini sebagai salah satu akad jual beli yang fasid, Ibnu Nujaim membahas bentuk akad jual beli ini dalam pembahasan khiyar syarath, dan Al-Zaila’iy membahasnya dalam Kitab Al-Ikrah.

Akad jual beli al-wafa’ memiliki perbedaan dengan jual beli pada umumnya, oleh karena itu akad jual bentuk ini memiliki nama yang khusus dan spesifik. Dalam akad jual beli pada umumnya adalah bahwa akad jual beli telah sempurna antara penjual dan pembeli, setelah pembeli menguasai harta yang dibelinya dan penjual menguasai uang harganya dan setelah lewat waktu hak khiyar terhadap salah satu pihak. Masing-masing pihak berhak melakukan apapun terhadap harta yang telah dimilikinya sesuai kehendaknya, penjual berhak atas penggunaan uang yang telah dimilikinya demikian pula pembeli berhak atas penggunaan barang yang dimilikinya sesuai kehendaknya secara bebas. Prinsif umum dalam akad jual beli tersebut tidak berlaku dalam bay’u al-wafa’, sebab pada bentuk jual beli ini terdapat batasan hak atas kepemilikan terhadap barang atau harta yang dibelinya, pembeli dalam akad ini berkewajiban untuk tidak menjual atau memindah tangankan harta yang dibelinya, hingga penjual mengembalikan harganya kepada pembeli dan pembeli berkewajiban mengembalikan harta yang dibelinya kepada penjual. Dengan demikian menurut sebagian ulama bahwa dalam akad bay’u al-wafa’ terdapat tiga hal yang dilarang syara’, yaitu:

  • 1) Pada akad bay’u al-wafa’ terdapat unsur syarat yang tidak lazim dalam akad sebagaimana pada umumnya, yaitu syarat mengembalikan harta perniagaan kepada penjual apabila harganya telah dikembalikan kepadanya. Syarat yang demikian adalah syarat yang akibat hukumnya akad jual beli menjadi fasid, dan memfasakh akaddalam hal ini hukumnya wajib menurut sebagian ulama Al-Hanafiyah. Sebab seolah-olah penjual dalam akad bay’u al-wafa’ membatasi hak pembeli untuk menggunakan harta perniagaan yang telah dibelinya, padahal harta itu telah menjadi miliknya melalui peralihan hak pembelian.
  • 2) Bay’u al-wafa’adalah akad jual beli yang didalamnya terdapat unsur syarat al-iqalah(pelepasan hak). Setiap akad jual beli yang mengandung unsur syarat iqalah adalah bertentangan dengan prinsif hukum akad pada umumnya, oleh karena itu berakibat akad jual beli menjadi fasid.
  • 3) Akad bay’u al-wafa’menyerupai akad al-rahn, karena dalam akad al-rahn ini seorang rahin meminjam uang kepada murtahin, dengan jaminan marhun (tanah misalnya) yang diberikan rahinkepada murtahin dengan hak tanggungan. Hingga apabila hutangnya dilunasi rahin, murtahin berkewajiban  mengembalikan marhun kepada rahin. Demikian pula dalam akad bay’u al-wafa’ penjual berhak mengambil kembali harta perniagaan yang telah dijualnya dan berkewajiban untuk mengembalikan uang yang telah diterimanya kepada pembeli. Oleh karena itu dari segi ini akad bay’u al-wafa’ substansinya merupakan al-rahn, bagian dari ketentuan hukum al-rahn adalah haram bagi al-murtahin mengambil manfaat al-marhun karena ia hanya diberikan hak tanggungan saja menurut seluruh ulama fiqh, yang dalam hal ini pembeli mengambil manfaat atas harta yang dibelinya yang substansinya berkedudukan sebagai al-marhun, pengambilan manfaat yang demikian hukumnya haram. Akan tetapi sebagian orang menyatakan sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya Al-Dur Al-Mukhtar Ala Rad Al-Mukhtar demikian juga ulama yang lainnya dari kalangan Al-Hanafiyah bahwa akad bay’u al-wafa’ adalah salah satu cara untuk menghindari terjerumus kepada al-riba.  
  1. Latar Belakang terjadinya Akad Bay’u Al-Wafa’.

Dalam Kitab-kitab ulama Al-Hanafiyah terdahulu tidak ditemukan pembahasan tentang bay’u al-wafa’ pada sekitar awal abad  IV. Pembahasan bay’u al-wafa’ baru ditemukan pada sekitar pertengahan abad ke IV dan awal abad V sebagaimana pembahasan akad jual beli ini yang dilakukan Al-Imam Al-Qadly Al-Hasan Al-Maturidy, Al-Sayyid Al-Imam Abu Syuja’ dan Al-Imam ‘Aly Al-Saghady. Mereka semua adalah ulama pada abad V.  

Al-Qadly bin Sammawah mengutip pernyataan sebagian ulama fiqh yang menyatakan bahwa akad jual beli yang biasa dilakukan di zaman ini adalah akad jual beli untuk menghindari riba, mereka menyebutnya dengan bay’u al-wafa’. Akad jual beli ini substansinya adalah rahn, menurut kami tidak ada perbedaan antara bay’u al-wafa’ dengan rahn dari sisi ketentuan hukumnya, meskipun disebut al-bay’u, akan tetapi pada dasarnya kedua akad ini sebagai jaminan piutang. Dalam hal ini Ibnu Nujaim menyatakan jual beli hukumnya boleh atau mubah sedangkan menepati janji hukumnya wajib, terkadang juga wajib (menepati) janji untuk kebutuhan manusia dengan menghindari riba. Pada masyarakat Balkhan mereka terbiasa melakukan peminjaman dengan pembayaran dalam jangka waktu yang sangat lama demikian pula dalam masyarakat Bukhara’. Oleh karena itu dalam masyarakat yang demikian agar tidak terjadi kerugian yang besar bagi pemilik harta disamping dapat menutupi kebutuhan masyarakat, maka akad bay’u ala-wafa’ adalah salah satu jalan terbaik, guna menjembatani antara kebutuhan masyarakat miskin dan menjaga kerugian pemilik harta.

Oleh karena itu urgensi bay’u al-wafa’ dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu:

Pertama, orang-orang dalam ruang lingkup masyarakat tertentu membutuhkan dana pinjaman untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan untuk itu mereka menjaminkan tanah miliknya, di pihak lain penyandang dana enggan meminjamkan dananya hanya dengan jaminan tanah saja, kecuali tanah tersebut dapat diambil manfaatnya oleh mereka (penyandang dana). Akan tetapi menurut ketentuan Syari’ah hukumnya haram kepada orang yang menghutangkan mengambil manfaat untuk mendapat keuntungan dari uang yang dipinjamkananya itu sesuai kaidah yang menyatakan :

كل قرض جر منفعة فهو ربا

Artinya “ setiap pnjaman yang berlaku terhadapnya manfaat, maka hal itu riba”.

 Karena syari’ah mengharamkan kepada al-murtahin untuk mengambil keuntungan dari al-marhun yang dijaminkan al-rahin, disebabkan karena termasuk riba, maka akad al-rahn, dialihkan menjadi akad bay’u al-wafa’.  Agar al-murtahin dapat mengambil keuntungan dari al-marhun. Al-Murtahin dalam akad ini didudukan sebagai pembeli, dan pembeli dapat mengambil manfaat harta yang dibelinya sesuai keinginannya, hanya saja pembeli berjanji akan mengembalikan harta yang dibelinya kepada penjual, ketika penjual mengembalikan harganya kepada pembeli.

Kedua, kebiasaan yang terjadi pada masyarakat Balkhan adalah mereka mengambil hutang dari seseorang, kemudian sebagai imbalannya mereka menjariahkan kebun untuk diambil manfaatnya bagi orang yang memberikan pinjaman itu. Memberikan sesuatu sebagai syarat mendapatkan piutang adalah tidak dibolehkan menurut ulama fiqh. Dengan demikian mereka mengalihkannya dengan menggunakan akad bay’u al-wafa’, agar akad tersebut tetap berada di bawah kaidah-kaidah syar’iy.

Ketiga, demikian pula pada sebagian masyarakat Bukhara, mereka terbiasa mengambil hutang dari seseorang, dan sebagai imbalannya mereka menyerahkan pohon buah-buahan, agar buahnya dapat diambil oleh orang yang menghutangkan. Memberikan buah-buahan sebagai syarat untuk mengdapatkan hutang adalah dilarang menurut ulama fiqh. Oleh karena itu mereka mengalihkannya dengan akad bay’u al-wafa’, agar tetap berada di bawah prinsif-prinsif umum yang diperbolehkan.  

  1. Hukum Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Ulama Al-Madzahib.
  2. Bay’u Al-Wafa’Dalam Pandangan Ulama Al-Hanafiyah.

Paling tidak terdapat empat pendapat ulama dalam kalangan madzhab Al-Hanafiyah tentang hukum al-bay’u al-wafa’.

Pertama, sebagian ulama menyatakan bahwa bay’u al-wafa’ substansinya merupakan akad al-rahn, Oleh karena itu pembeli bukan sebagai pemilik harta yang dibelinya, ia juga tidak dapat mengambil manfaatnya kecuali atas izin pemiliknya, bagi penjual hanya berkewajiban membayar hutangnya kepada pembeli.  Ketentuan hukum yang yang berkaitan dengan akad al-rahn berlaku sama terhadap al-ba’yu al-wafa’. Kedua akad ini substansinya sama-sama sebagai jaminan terhadap piutang tertentu dengan memberikan hak tanggungan, apabila orang yang berhutang ingkar janji melunasi hutangnya, maka orang yang menghutangkan dapat menjual harta yang dijaminkan untuk menutupi pembayaran hutangnya. Dengan demikian akad bentuk ini meskipun menggunakan redaksi akad jual beli, akan tetapi maksud dan tujuan penyerahan harta adalah sebagai jaminan pengembalian uang yang diterimanya, sesuai kaidah yang menyatakan:

والعبرة في التصرفات للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني

    Artinya “yang dijadikan ‘ibrah (perhatian) dalam bermu’amalah al-tasharrufat adalah tujuan-tujuan dan makna kandungannya bukan lafalnya dan bentuk bangunannya”

Pendapat pertama ini adalah pendapat sebagaimana yang dikemukakan Al-Imam Al-Hasan Al-Maturidiyah, Al-Sayyid Abu Syuja’ dan anaknya, serta Al-Imam ‘Aly Al-Saghady.

Kedua, sebagian ulama mengatakan bahwa akad bay’u al-wafa’  adalah akad jual beli yang tidak sah menurut hukum, yaitu pembeli tidak memiliki sesuatu apapun terhadap harta yang dijual pihak lain. Sebagaimana dalam akad jual beli yang didalamnya terdapat unsur keterpaksaan.

Ketiga, sebagian ulama berpendapat sebagaimana pendapat yang dipilih Qadlihan ulama mujtahid dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah, beliau menyatakan pendapat yang benar adalah bahwa akad jual beli yang terjadi antara dua pihak, pembeli dan penjual berlaku bagi mereka, apabila redaksinya menggunakan akad jual beli, bukan menggunakan redaksi akad rahn, kemudian perhatikan setelah terjadi akad tersebut, bila mereka menyebutkan syarat dapat mencabut akadnya, maka akad yang demikian fasid, bila mereka tidak menyebutkan syarat tersebut dalam akad jual beli dan mereka melafalkannya dengan kata jual beli dengan syarat al-wafa’ atau mereka melafalkan al-bay’u al-ja’iz. Maka  akad jual beli ini bagi mereka adalah akad jual beli yang tidak mengikat, demikian pula bila mereka menyebutkan akad jual beli tanpa adanya syarat, kemudian setelah itu mereka menyebutkan perjanjian yang disepakati bersama, maka akad jual beli yang demikian dibolehkan dan wajib terhadap mereka menepati isi perjanjian yang disepakati bersama.

Keempat, sebagian ulama menyatakan bahwa bay’u al-wafa’ hukumnya fasid, hingga masing-masing pihak diberikan hak untuk memfasakh akad tersebut.

Dari empat pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi permasalahan dalam bay’u al-wafa’ adalah tentang adanya hillah yaitu mencari jalan keluar agar tidak terjerumus ke dalam praktek riba. Sebab hillah dalam masalah ini adalah kebolehan mengambil sesuatu yang berasal dari riba yang diharamkan. Dari satu sisi bila al-murtahin mengambil manfaat dari harta yang dijaminkan al-rahin, maka pengambilan manfaat yang demikian termasuk riba yang diharamkan sesuai firman Allah Azza wa Jalla Jalaluhu dalam surat Al-Baqarah ayat 275 “waharrama al-riba’”. Karena sesuai kaidah “setiap pinjaman untuk memperoleh manfaat adalah riba”. Adapun apabila seorang membeli harta perniagaan dari orang lain, hingga harta itu menjadi miliknya dan dapat diambil manfaat sesuai keinginannya, maka peralihan hak yang demikian termasuk dalam firmaan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275  “wa ahallallahu al-bay’a”. 

Mengambil keuntungan dari harta yang dijaminkan atas sejumlah hutang adalah termasuk salah satu bentuk riba al-nasi’ah, karena keuntungan yang diperoleh bukan merupakan hasil suatu prestasi, melainkan hanya sebagai imbalan penangguhan pembayaran hutang. Kemudian mencari jalan keluar agar keuntungan tersebut tidak termasuk riba, yaitu dengan jalan harta yang dijaminkan tersebut dialihkan menjadi harta yang diperjualbelikan dengan janji harta tersebut akan kembali kepada pemiliknya setelah harganya dikembalikan. cara yang demikian adalam salah satu cara hillah.

   Perlu diketahui bahwa tidak setiap hillah dilarang syara’. Dalam hal ini Al-‘Aziz Al-Syaikh Al-Mufti Al-Qadli Muhammad Taqy Al-Utsmany menyatakan dalam kitabnya Takmillah Fath Al-Mulhim Syarh Shahih Muslim di bawah hadis:

قاتل الله اليهود، حرم الله عليهم الشحوم، فباعوها وأكلوا أثمانها

Artinya “Allah memerangi orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengharamkan terhadap mereka lemak (bangkai), kemudian mereka tetap menjualbelikannya, dan mereka memakan harganya”

Bahwa yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan Al-Lausy dalam kitab tafsirnya Ruh Al-Ma’any juz XXIII halaman 209 beliau menyatakan bahwa al-hillah dengan cara membatalkan hikmah yang disyari’atkan tidak dapat diterima, seperti menghilah agar menggugurkan zakat dan menggugurkan hutang. Adapun al-hillah dengan cara mencari jalan yang menghubungkan agar seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan tertentu, menolak sesuatu yang makruh dari dirinya dan orang lain, maka al-hillah ini dapat diterima.

Al-Sarkhasymenyatakan “sesuatu yang dihasilkan agar dengan sesuatu itu dapat melepaskan seorang dari hukum haram menjadi halal, maka hal ini bagian dari hilah yang baik. Hillah yang dimakruhkan adalah hilah dalam hal sampai menggugurkan hak seseorang atau dalam hal sampai terjatuh pada sesuatu yang syubhat.

Al-hillah yang disyari’atkan adalah berdasarkan firman Allah dalam surat Shad ayat 44:

Artinya “dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya).

Cara hilah yang disyariatkan sebagaimana dalam hadis shahih riwayat Al-Bukhary Muslim dan Al-Nasa’iy dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم استعمل رجلًا على خيبر، فجاءهم بتمر جنيب، فقال: أكل تمر خيبر هكذا؟ قال: إنا لنأخذ الصاع بالصاعين والصاعين بالثلاث، قال: لا تفعل، بع الجمع بالدراهم ثم ابتع بالدراهم جنيبًا

Artinya “bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallaman menyuruh (memanen kurma) yang ada di atas tanah Khaibar, kemudian laki-laki itu kembali kepada Rasulullah dengan membawa kurma janib, kemudian Rasulullah bertanya ‘apakah seluruh kurma khaibar seperti ini ?’ laki-laki itu menjawab saya mendapatkannya  satu sha’ dengan dua sha’, dua sh’ dengan tiga sha’. kemudian Rasulullah melarangnya ‘janganlah kamu mengerjakannya, kamu jual (dulu) seluruhnya dengan beberapa dirham, kemudian kamu belikan dengan beberapa dirham itu kurma ajanib.”

 Hilah yang ditunjukan Rasulullah ini adalah hilal dari barter yang termasuk riba fadlah, menjadikannya sebagai sesuatu yang halal. Demikian pula unsur hilah dalam akad bay’u al-wafa’ adalah hilah dengan cara merubah substansi akad, dari akad al-rahn, menjadi akad al-bay’u. Maka dalam hilah akad seperti ini tidak mengandung sesuatu yang syubhat dan diperbolehkan.  

  1. Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Malikiyah

Ulama Al-Malikiyah berbeda pendapat tentang hukum bay’u al-wafa’, walaupun substansinya sama, yaitu termasuk akad yang batal. Pendapat pertama sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Al-Qasim dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra bahwa bay’u al-wafa’ sebagai salah satu akad jual beli yang batal demi hukum. Pendapat kedua sebagaimana dinyatakan Sahnun dan Ibnu Al-Majasyum   bay’u al-wafa’ adalah akad rahn yang batal demi hukum. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa bay’u al-wafa’ menurut Al-Imam Malik tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa bay’u al-wafa’ tersebut mengandung dua akad yang berbeda yang tidak dapat dipastikan salah satunya, yaitu akad jual beli dan akad salaf (pinjaman). Apabila harga harta perniagaan dikembalikan dari penjual kepada pembeli, maka hal itu termasuk akad pinjaman dan apabila harganya itu tidak dikembalikan maka akad tersebut termasuk akad jual beli.

  1. Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Hanabilah.

Menurut ulama Al-Hanabilah akad bay’u al-wafa’  disebut dengan bay’u al-amanah, sebab dalam akad jual beli tersebut mengandung kesepakatan antara dua pihak, apabila pembeli mengembalikan harga barang, maka ia akan mengembalikan barang itu kepada penjual. Akad jual beli seperti ini hukumnya batal. Sebab menurut mereka tujuan akad dua pihak ini tiada lain adalah untuk mendapatkan keuntungan dengan cara riba, pembeli menyerahkan harga barang dengan jumlah tertentu yang harus dikembalikan dengan cara tangguh, dan imbalan keuntungan bagi pembeli adalah memanfaatkan barang tersebut. Dengan demikian dalam hal ini wajib mengembalikan harta perniagaan kepada penjual dan mengembalikan harganya kepada pembeli. 

  1. Bay’u Al-Wafa’ Dalam Pandangan Madzhab Al-Syafi’iyah.

Ulama Mutaqaddimin dari kalangan Madzhab Al-Syafi’iyah berbeda pendapat tentang hukum bay’u al-wafa’. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa bay’u al-wafa’ hukumnya fasid, apabila syarat berkewajiban untuk mengembalikan objek akad (barang dan uang) adalah unsur lain yang menyertai akad, atau pembeli dan penjual masih berada pada majelis akad atau pada masa tenggang waktu khiyar syarath. 

Adapun ulama kalangan Madzhab Al-Syafi’iyah muta’akhirin berpendapat bahwa bay’u al-wafa’ diperbolehkan menurut hukum, pembeli boleh mengambil manfaat harta yang dibelinya sesuai kehendaknya. Sebab akad jual beli ini telah berlaku lama dalam masyarakat secara umum, karena cara bermu’amalah seperti ini kenyataannya dibutuhkan masyarakat dan agar terhindar dari riba’. Dengan demikian akad bay’u al-wafa’ sah secara hukum walaupun bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum, sebab suatu kaidah hukum dapat disimpangi dalam kasus-kasus spesifik yang telah berlaku lama dalam masyarakat, sebagaimana dalam akad jual beli al-istishna’.  Abd Al-Rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar  menyatakan bahwa bay’u al-wafa’  atau disebut dengan bay’u al-‘ahidah, adalah salah satu akad jual beli yang sah secara hukum dan boleh dilakukan berdasarkan dalil syara’ dan adat, beliau menyatakan  bahwa tentang akad jual beli ini tidak terdapat seorang ulama-pun yang membantahnya, akad ini telah berlaku lama dalam masyarakat muslim secara umum dalam berbagai negara, akad ini juga terdapat hikmah-hikmah besar untuk menutupi kebutuhan mendesak masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Dalam akad ini berlaku kaidah hukum Al-hajat tunazzilu manzilata al-dlarurat. (kebutuhan mendesak menempati pada tempat darurat), dan oleh karena itu berlakulah kaidah al-dlarurat tubihu al-mahdlurat ( karena adanya kemadaratan yang mendesak, membolehkan melakukan yang dilarang).   

  1. Bay’u Al-Wafa’ Dalam Fatwa UlamaInternasional.

Bentuk jual beli al-wafa’  menjadi isu yang fenomenal dan menarik untuk dikaji secara komperhensif dan menjadi perhatian khusus kalangan ulama Internasional pada kurun abad X- XII Hijriah. Karena bentuk jual beli al-wafa’ merupakan salah satu bentuk bermu’amalah yang belum ada baik pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama maupun pada masa para shahabat. Oleh karena itu banyak ulama yang menanggapinya secara beragam dengan berbagai metoda ijtihadyiah, sebagian ulama menggunakan metodology analogy (qiyas), dan sebagian yang lain menggunakan metodology istihsan dan uruf.

Salah satu ulama terkemuka pada abad  ini Al-Syaikh Muhammad Musthafa’ Al-Zarqa’ mengemukakan pendapatnya bahwa akad al-bay’u al-wafa’ memiliki kemiripan yang dominan dengan akad al-rahn, pada ketentuan akad al-rahn orang yang menerima gadaian (al-murtahin) dilarang mengambil manfaat dari harta yang dijadikan jaminannya, kecuali ada izin yang menggadaian (rahin). Dengan demikian pemanfaatan harta oleh pembeli dalam akad jual beli al-wafa’ juga terdapat larangan syara’.

Sedangkan menurut ulama lain, yang diantaranya menurut Abd Al-Rahman bin Husain bin Umar, sebagaimana di jelaskan di atas, menurut dalil uruf dan istihsan, akad jual beli al-wafa’ boleh dilakukan.

Kontropersi ini berakibat pada substansi dan isi fatwa ulama juga berbeda dalam menentukan hukum bay’u al-wafa’.

Lembaga fatwa Internasional sebagaimana yang diputuskan OKI (Lembaga Fikih Internasional) Nomor 66 Tahun 2012, menjatuhkan putusan bahwa akad bay’u al-wafa’ termasuk salah satu akad tahayul (rekayasa) untuk menghindari riba, dan hukumnya tidak sah secara hukum menurut mayoritas ulama. Dengan demikian keputusan OKI adalah keputusan yang di dasarkan kepada pendapat mayoritas ulama Internasional dengan pertimbangan bahwa al-hilah mencari jalan menjadikan hukum haram menjadi halal dan hukum halal menjadi haram adalah terdapat larangan syara’, selain itu sebagaimana yang dikemukakan Al-Syaikh Muhammad Mushthafa’ Al-Zarqa bahwa kenyataan yang dijalankan masyarakat dalam menggunakan akad bay’u al-wafa’ ini  adalah tidak termasuk akad jual beli yang sebenarnya, hal mana harga barang atau harta yang diserahkan pembeli kepada penjual biasanya di bawah harga pasaran, paling tidak setengah harga jual pasaran. Oleh karena itu akad jual beli ini merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini penjual dan menguntukan pihak yang lain, yaitu pembeli.

Sedangkan pada lembaga fatwa domestik, yaitu lembaga fatwa ulama Indonesia (DSN-MUI), telah mempertimbangkan untuk menentukan hukum bay’u al-wafa’, khusus tentang objek Surat Berharga Syari’ah (SBS), dengan berbagai macam pertimbangan, di antara pertimbangan yang paling pokok adalah sebagai berikut :

Pertama, sesuai kaidah yang menyatakan:

الأصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

Artinya “Pada prinsipnya  pada setiap mu’amalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

Bagian hukum yang ditunjuk baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Al-Hadis yang berkaitan dengan hajat hidup duniawy (al-mu’amalah al-maliyah), berbanding terbalik dengan hukum yang berkaitan dengan ‘ubudiyah. Dalam bidang mu’amalah lebih banyak memuat prinsip-prinsip dasar yang berlaku umum, ketimbang memuat ketentuan pristiwa hukum yang bersifat kasuistik. Oleh karena itu nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis yang berkaitan dengan bidang ini lebih sedikit daripada nash yang berkaitan dengan ibadah.

Dalam bidang mu’amalah ummat manusia dapat menentukan bentuk-bentuknya sendiri dengan cara pengembangan terhadap bentuk-bentuk mu’amalah yang telah ada secara kreatif dan inovatif, selama tetap memperhatikan dan tidak melanggar batas-batas Syari’ah yang telah ditentukan.

Sebagaimana dijelaskan di atas akad bay’u al-wafa’ adalah salah satu akad bentuk baru, yang tidak disyariatkan baik ketika masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama maupun ketika masa shahabat. Oleh karna itu fatwa MUI mempertimbangkan bahwa akad bay’u al-wafa termasuk akad jual beli al-murakabah, paling tidak memuat dua akad yang berlainan, akad pokoknya adalah akad jual beli yang harus dilakukan dengan sebenarnya, memenuhi syarat dan rukun, dan akibat hukumnya telah nyata, diantaranya harga jual sesuai pasaran atau sesuai kesepakatan bersama, dan hak kepamilikannya telah beralih dari masing-masing pihak kepada pihak yang lainnya. Akad yang kedua adalah akad perjanjian kedua belah pihak, pembeli berjanji akan menjual hartanya kembali kepada penjual dan penjual akan membayarkan harga jualnya kembali kepada pembeli, perjanjian tersebut berlaku pada waktu yang akan datang setelah penjual mempunyai uang untuk membayarkannya. perjanjian demikian sesuai kaidah pokok fikih

الأَصْلُ فِيْ الْمُوَاعَدَةِ مِنَ الطَّرْفَيْنِ أَنَّهَا مُلْزِمَةٌ دِيَانَةً، وَلَيْسَـــــتْ مُلْزِمَةً قَضَاءً

  Artinya “Hukum asal pada perjanjian yang dibuat dari ke dua belah pihak adalah mengikat secara diyany, (moralitas), tidak mengikat secara hukum. 

Akan tetapi dalam kondisi tertentu akad perjanjian untuk masa yang akan datang mengikat dan berlaku sebagaimana undang-undang terhadap kedua belah pihak, sesuai kaidah:

فِي الْحَالاَتِ الَّتِي لاَ يُمْكِنُ فِيْهَا إِنْجَازُ عَقْدِ الْبَيْعِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ الْمَبِيْعِ فِي مِلْكِ الْبَائِعِ مَعَ وُجُوْدِ حَاجَةٍ عَامَّةٍ لإِلْزَامِ كُلٍّ مِنَ الطَّرْفَيْنِ بِإِنْجَازِ عَقْدٍ فِي الْمُسْتَقْبَلِ بِحُكْمِ الْقَانُوْنِ أَوْ غَيْرِهِ، أَوْ بِحُكْمِ الأَعْرَافِ التِّجَارِيّةِ الدَّوْلِيّةِ، كَمَا فِي فَتْحِ الإِعْتِمَادِ الْمُسْتَنَدِيّ لاسْتِيْرَادِ الْبِضَاعَاتِ، فَإِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ تُجْعَلَ الْمُوَاعَدَةُ مُلْزِمَةً لِلطَّرْفَيْنِ إِمَّا بِتَقْنِيْنٍ مِنَ الْحُكُوْمة، وَإِمَّا بِاتِّفَاقِ الطَّرْفَيْنِ عَلَى نَصٍّ فِي الإِتِّفَاقِيّةِ يَجْعَلُ الْمُوَاعَدَةَ مُلْزِمَةً لِلطَّرْفَيْنِ

Artinya: Dalam kasus-kasus perjanjian akad jual beli tidak mungkin dilakukan secara tunai, karena objek jual belinya belum menjadi milik penjual, bersamaan dengan itu terdapat kebutuhan mendesak untuk melakukan akad perjanjian yang berlaku untuk masa yang akan datang baik berdasarkan undang-undang, ketentuan lainnya, maupun berdasarkan tradisi bisnis internasional  seperti pembukaan Letter of Credit (L/C) untuk kebutuhan impor barang komoditas, maka dalam kondisi tersebut boleh diberlakukan perjanjian yang bersifat mengikat kepada kedua belah pihak, baik mengikat berdasarkan undang-undang, maupun berdasarkan kesepakatan yang dimuat dalam perjanjian kesepakatan itu.  

Kaidah-kaidah perjanjian tersebut juga sesuai pendapat Al-Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah bahwa Risiko terbagi menjadi dua. Pertama, risiko bisnis, yaitu seseorang membeli barang dengan tujuan menjualnya kembali dengan tujuan untuk mendapat keuntungan, dan selanjutnya dia bertawakkal kepada Allah atas hal tersebut. Risiko ini tidak bisa dihindari oleh para pebisnis. Pebisnis bertawakkal kepada Allah, meminta dari-Nya agar seseorang datang membeli barang dan dia dapat menjualnya dengan mengambil keuntungan. Meskipun kadang-kadang dia rugi. Bisnis (perniagaan) memang demikian. Kedua risiko untung-untungan (maisir), yaitu risiko yang mengandung unsur memakan harta orang lain secara bathil. Risiko ini yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Ulama Indonesia memutuskan, diantaranya membolehkan jual beli (SBS) disertai janji penjual akan membelinya kembali, dengan syarat-syarat sebegai berikut :

  • 1) Akad Jual beli dilakukan dengan akad jual beli yang sebenarnya.
  • 2) Penjual berjanji akan membeli kembali harta perniagaan yang dijualnya dan pembeli berjanji akan menjual kembali harta perniagaan yang ia beli, perjanjian ini berlaku pada waktu yang akan datang.
  • 3) Harga barang yang diperjual belikan berdasarkan harga pasar atau sesuai kesepakatan bersama antara penjual dengan pembeli.
  • 4) Dalam hal salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka ia dapat dikenakan sanksi.
  1. Menentukan Akad Bay’u Al-Wafa’ Yang Sah Menurut Hukum.

Akad bay’u al-wafa’ sebagaimana yang telah dipaparkan di atas dapat digambarkan dalam empat bentuk, yaitu:

Bentuk Pertama,  adalah pembeli dan penjual mengadakan akad jual beli tanpa syarat apapun, dan dalam hati masing-masing menyimpan keinginan, apabila penjual mengembalikan harga barang, maka ia akan mengembalikan barang itu kepadanya. Akad yang demikian diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.

Bentuk Kedua, adalah pembeli dan penjual sepakat mengadakan akad jual beli, dalam akad tersebut menyebutkan syarat masing-masing pihak diberi hak untuk membatalkan akad atau menyebutkan redaksi bay’u al-wafa’ atau al-bay’u al-ja’iz  dan kedua belah pihak  menghendaki dengan akadnya tidak mengikat, maka akad jual beli seperti ini termasuk akad fasid. Karena dalam akad ini memuat syarat iqalah yang fasid.

Bentuk Ketiga, adalah  pembeli dan penjual sepakat mengadakan akad jual beli, dengan tanpa menyertakan syarat, kemudian setelah selesai akad, mereka masing-masing mengadakan perjanjian pada waktu yang ditentukan pembeli akan mengembalikan harta yang dibelinya, dan penjual akan mengembalikan harga harta tersebut kepada pembeli. Akad seperti ini hukumnya diperbolehkan dan kedua belah pihak berkewajiban menunaikan janjinya.

Bentuk Keempat, adalah dua pihak pembeli dan penjual sebelum mengadakan akad jual beli, mereka sepakat mengadakan perjanjian bay’u al-wafa’. Setelah itu mereka melakukan akad jual beli dengan tanpa syarat apapun. Maka dalam akad ini akad jual beli diperbolehkan dan kedua belah pihak terikat dengan janji yang wajib ditunaikan.

Dari keempat gambaran akad jual beli tersebut dapat disimpulkan akad yang memenuhi kreteria kaidah hukum adalah akad-akad yang terdapat dalam bentuk pertama, ketiga dan keempat. Akad dalam bentuk pertama adalah akad yang sah menurut hukum mengikat kepada kedua belah pihak dan melahirkan akibat hukum. Walaupun dalam hati masing-masing  berjanji, pembeili akan mengembalikan harta yang dibelinya kepada penjual dan penjual akan mengembalikan harga harta tersebut kepada pembeli. Akan tetapi sesuai kaida-kaidah hukum, perjanjian yang tidak diungkapkan dengan lisan atau tulisan bukanlah perjanjian. Berjanji dalam hati untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum mengikat terhadap dirinya sendiri, tidak mengikat terhadap orang atau pihak lain. Oleh karena itu niat masing-masing pihak pembeli dan penjual yang tersembunyi tidak mempengaruhi keabsahan akad yang terjadi di antara mereka. Bentuk akad yang ketiga, terdapat dua unsur perjanjian, yang pertama perjanjian mengadakan akad jual beli dan yang kedua perjanjian untuk melepaskan hak masing-masing pada waktu yang disepakati bersama. Oleh karena itu bentuk akad yang ketiga ini perlu dipisahkan antara perjanjian dalam akad jual beli dengan janji masing-masing pihak akan melepaskan haknya. Selama kedua bentuk perjanjian memenuhi asas-asas hukum perjanjian, yaitu asas ridla, ittifaqiyah, huriyah, luzum, ikhthiyati, taswiyah dan lain-lain, memenuhi kreteria perjanjian dalam akad, yaitu memenuhi rukun dan syarat sah perjanjian. Maka kedua akad tersebut haruslah dianggap sah menurut hukum. Sedangkan bentuk akad yang keempat adalah adanya perjanjian lain yang berhubungan dengan pokok akad yang belum terjadi. Berkenaan dengan masalah ini perjanjian yang pertama adalah perjanjian yang tidak memenuhi kepastian hukum, sebab terdapat objek perjanjian yang berstatus belum menjadi milik masing-masing pihak. Oleh karena itu pada bentuk akad yang keempat, perjanjian yang pertama tidak berlaku dan perjanjian akad pokoknya sah dan berlaku menurut hukum.

Dengan demikian menurut penulis, hillah yang dapat dilakukan dan memenuhi keabsahan hukum dalam memecahkan persoalan dalam bay’u al-wafa’ adalah antara kedua belah pihak pembeli dan penjual, membuat dua perjanjian secara terpisah, perjanjian pertama adalah perjanjian yang dimuat dalam akad jual beli dan perjanjian kedua adalah perjanjian untuk melepaskan hak masing-masing pihak sesuai waktu yang ditentukan. Kedua perjanjian ini tidak dapat dikolaburasi menjadi satu perjanjian, bila perjanjian kedua menjadi syarat untuk terpenuhinya perjanjian pada akad pokok berakibat perjanian pokoknya menjadi tidak sah secara hukum. Karena dengan adanya syarat untuk mengembalikan harta dari pembeli kepada penjual, setelah penjual mengembalikan uang yang diterimanya adalah bertentangan dengan asas tamlik, yaitu diantaranya yang berkaitan dengan masalah ini adalah asas hurriyah al-tasharruf.  

  • III. GADAI ADAT DI INDONESIA

Gadai dalam pengertian umum adalah meminjamkan uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman. Gadai dalam pengertian ini bersinonim dengan jaminan hutang atau hak tanggungan. Perbedaannya hanya terletak pada saat jatuh tempo, ketika hutang tidak dibayar oleh orang yang meminjam kepada orang yang meminjamkan dalam waktu yang ditentukan, maka dalam skema gadai barang yang menjadi jaminan itu secara otomatis menjadi hak pemegang gadai, sedangkan dalam jaminan atau hak tanggungan, pemegang jaminan hanya berhak senilai hutang yang dipinjamkannya setelah barang jaminan tersebut di jual lelang.

Gadai juga memiliki kemiripan dengan terminology al-rahn dalam fikih, hal mana al-rahn pada pokoknya adalah jaminan terhadap hutang yang diserahkan peminjam kepada yang meminjamkan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu, setelah jatuh tempo murtahin dapat menjual marhun milik rahin dan uang hasil jualnya diambil murtahin untuk melunasi hutang rahin.

Sedangkan gadai adat yang berlaku di sebagian besar masyarakat Indonesia perjanjian pokoknya juga merupakan perjanjian utang-piutang dengan imbalan orang yang berhutang menyerahkan barang untuk dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang yang menghutangkan. Selama hutang tersebut belum dilunasi, barang yang dijadikan jaminan itu tetap dikuasai dan dimanfaatkan oleh orang yang menghutangkan.

Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam hal ini bukanlah berkaitan dengan gadai dalam pengertian jaminan, melainkan berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan barang yang dijaminkan itu oleh pemegang gadai.

Dalam hukum Islam, mayoritas ulama berpendapat bahwa pada dasarnya al-murtahin tidak dapat mengambil manfaat dari harta yang dijaminkan kepadanya, kecuali bertujuan untuk pemenuhan biaya-biaya yang dibutuhkan dalam pemeliharaan harta jaminan. Dengan demikian al-murtahin diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil manfaaat harta jaminan berupa binatang peliharaan (benda bergerak). Oleh karena itu al-murtahin berhak untuk memeras susunya, menungganginya dan menyewakannya dalam batasaan sesuai kebutuhan makan dan biaya pemeliharaan binatang tersebut.

Secara lebih mendetil pendapat ulama dalam masalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Dalam Pandangan Ulama Al-Hanafiyah.

Ulama Al-Hanafiyah berpendapat al-murtahin tidak dapat mengambil manfaat harta jaminan, seperti menjadikannya sebagai pelayan, menunggangi, mendiami, memakai dan lain-lain kecuali atas izin al-rahin. Karena al-murtahin diberikan hak oleh hukum hanya sebatas penahanannya saja, tidak untuk mengambil manfaat. Apabila al-murtahin mengambil manfaat yang berakibat kerusakan harta jaminan, maka al-murtahin menanggung segala resiko kerugiannya, karena pengambilan manfaat yang demikian termasuk perampasan hak (ghashab). Lain halnya ketika al-rahin memberi izin kepada al-murtahin untuk mengambil manfaat dari harta yang dijaminkannya, dalam hal ini ulama Al-Hanafiyah berbeda pendapat, menurut sebagian pendapat dibolehkan secara mutlak dan menurut sebagian pendapat tidak dibolehkan secara mutlak, karena al-murtahin mengambil manfaat harta jaminan termasuk katagori riba atau paling tidak didalamnya terdapat unsur yang menyerupai riba, adanya izin dan kerelaan dalam mekanisme bisnis riba tidak halal, demikian pula yang menyerupai riba. Dan sebagian pendapat memberikan perincian apabila izin pengambilan manfaat harta jaminan dijadikan syarat dalam akad, maka hukumnya haram karena termasuk riba, baik syarat dengan pernyataan yang jelas atau syarat yang telah menjadi budaya masyarakat, dan apabila izin pengambilan manfaat tersebut terpisah dari akad (tidak dijadikan syarat dalam akad dan tidak pula menjadi budaya dalam masyarakat), maka hukumnya dibolehkan, karena izin dalam hal ini merupakan akad tabarru’ (kebaikan) dari al-rahin terhadap al-murtahin. Perincian yang demikian menurut komentar Wahbah bin Mushthafa Al-Zuhaily adalah perincian yang sesuai dengan ruh Al-Syari’ah, sebab hal-hal yang terjadi secara umum dalam masyarakat, seorang rela meminjamkan uangnya kepada orang lain dengan harapan mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkannya itu, apabila tidak demikian, orang itu tidak akan rela memberikan pinjaman kepada orang lain itu.

Selain itu kehati-hatian dalam regulasi hutang-piutang  adalah sesuatu yang wajib dipelihara, karena setiap pinjaman dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang disyaratkan atau telah menjadi budaya dalam masyarakat  menurut ulama Al-Hanafiyah hukumnya haram, senada dengan pendapat ini Ibnu Nujaim dalam kitabnya menyatakan hukumnya makruh tahrim al-murtahin mengambil manfaat dari harta jaminan yang dijaminkan kepadanya 

  1. Dalam pandangan Ulama Al-Malikiyah.

Tentang masalah di atas, ulama Al-Malikiyah memberikan perincian sebagai berikut :

  1. a) Apabila al-rahin memberi izin kepada al-murtahin untuk mengambil manfaat dari harta yang dijaminkannya, atau al-murtahin mensyaratkan (dalam akad) dapat mengambil manfaat dari harta jaminan tersebut,  dalam hal ini dibolehkan ketika hutang al-rahin tersebut berawal dari akad jual beli atau akad mu’awwadlah lainnya dengan cara pembayaran ditangguhkan atau dengan cara cicilan dan dalam akad-akad tersebut ditentukan jatuh tempo pelunasannya dalam waktu tertentu agar terhindar dari unsur al-juhalah yang merusak akad al-ijarah, karena akad dalam kasus seperti ini termasuk multi akad yang terdiri dari akad jual beli dan ijarah (sewa), kebolehan dalam hal ini sebagaimana ditegaskan Al-Dardir bahwa al-murtahin dapat mengambil manfaat dari harta yang dijaminkan kepadanya untuk dirinya sendiri secara cuma-cuma atau diperhitungkan sebagai bagian dari hutang, agar al-rahin segera melunasi sisa hutangnya.
  2. b) Apabila hutangnya itu berawal dari akad qardl (pinjaman), maka al-murtahin tidak dapat mengambil manfaat dari harta yang dijaminkan kepadanya, karena termasuk dalam menghutangkan dengan tujuan mengambil manfaat, walaupun al-rahin menyerahkan kepada al-murtahin untuk mengambil manfaat harta jaminan tersebut dengan tanpa disyaratkan oleh al-murtahin dalam akadnya, karena berbuat baik dalam hal ini terdapat larangan syara’, sebagaimana hadis :

عن أنس عن النبي صلّى الله عليه وسلم قال: «إذا أقرض فلا يأخذ هدية

Artinya dari ‘Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama, beliau bersabda “Apabila seorang meminjamkan (sesuatu) kepada orang lain, ia tidak dapat mengambil hadiyah dari orang lain itu”

  1. Dalam pandangan Ulama Al-Syafi’iyah.

Pandangan ulama Al-Syafi’iyah pada pokoknya hampir sama dengan pandangan ulama Al-Malikiyah bahwa al-murtahin tidak dapat mengambil manfaat dari harta yang dijaminkan kepadanya, sesuai hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama :

لا يغلق الرهن من صاحبه، الذي رهنه، له غنمه وعليه غرمه

Al-Imam Al-Syafi’iy menyatakan bahwa yang dimaksud ghunmuhu adalah penambahan atau pertumbuhan harta jaminan dan yang dimaksud ghurmuhu adalah kerusakan dan mengurangi nilai harta jaminan. Oleh karena itu tidak dapat diragukan lagi bahwa bagian dari al-ghunm adalah adanya manfaat dan hal ini adalah pendapat Ibnu Mas’d radliyallahu ‘anhu.

Apabila al-murtahin memuat syarat dalam akad yang memberatkan al-rahin, penambahan atau mengambil manfaat harta jaminan  menjadi milik al-murtahin, maka syarat demikian hukumnya batal yang berakibat membatalkan akad al-rahn, sesuai hadis :

كل شرط ليس في كتاب الله تعالى، فهو باطل

Artinya “setiap syarat yang tidak terdapat pada Kitab Allah ‘Ta’ala hukumnya batal”.

Oleh karena itu syarat yang demikian berakibat membatalkan akadnya, karena syarat tersebut bertentangan dengan tujuan akad, sebagaimana juga syarat yang memberatkan diri al-murtahin sendiri.

  Adapun mengambilan manfaat harta jaminan dengan ukuran tertentu atau telah menjadi pengetahuan umum, sebagaimana akad al-rahn yang disertakan dalam akad jual beli dengan pembayaran secara tangguh, maka hukumnya sah al-murtahin mengambil manfaat dari harta jaminan, karena dalam akad seperti ini mengumpulkan akad jual beli dan ijarah dalam satu peristiwa yang dibolehkan, misalnya seorang melakukan penawaran kepada orang lain “saya jual kepadamu harta milik saya ini dengan harga Rp. 100 juta, dengan syarat rumah kamu sebagai jaminannya dan manfaat rumah itu untuk saya selama satu tahun” dalam kasus seperti ini sebagian nilai harga merupakan harga jual harta orang itu sejumlah Rp. 90 Juta sesuai harga pasaran .dan sebagiannya Rp. 10 juta merupakan ujrah (uang sewa) manfaat dari rumah tersebut.

Apabila mengambilan manfaat tersebut tidak disyaratkan dalam akad, maka al-murtahin dapat mengambil manfaat harta jaminan dengan seizin pemiliknya (al-rahin), karena al-rahin dalam hal ini sebagai pemilik manfaat tersebut, memberi izin harta miliknya untuk digunakan orang lain adalah merupakan kewenangannya, selama izinnya itu tidak mempersempit haknya terhadap harta jaminan.  

  1. Dalam pandangan ulama Al-Hanabilah.

Menurut ulama Al-Hanabilah al-murtahin tidak berhak mengambil manfaat harta jaminan yang dijaminkan kepadanya tanpa izin al-rahin, apabila harta tersebut selain berupa binatang ternak yang memerlukan perawatan, seperti rumah, perhiasan dan lain-lain, karena harta jaminan, manfaatnya dan pertumbuhannya adalah tetap melekat milik al-rahin. Pihak lain tidak dapat mengambilnya dengan tanpa izin pemiliknya. Apabila al-rahin memberikan izin tanpa pengganti (prestasi) dan hutang al-rahin berasal dari akad pinjaman, maka mengambil manfaat harta jaminannya tidak dibolehkan, karena termasuk kepada hadis “setiap pinjaman yang bertujuan untuk memperoleh manfaat” dihukumi haram. Imam Ahmad menyatakan  “apabila sebuah rumah dijadikan sebagaai jaminan hutang, kemudian rumah tersebut diambil manfaatnya oleh al-murtahin, maka hukumnya riba’. Dan apabila pemanfaatan harta jaminan berasal dari akad jual beli secara tangguh atau upah sewa atau hutang-hutang yang lainnya, kemudian al-rahin memberikan izin, maka al-murtahin dibolehkan mengambil manfaat dari harta jaminan tersebut. Demikian pula apabila pengambilan manfaat tersebut dengan pengganti atau imbalan yang sesuai dengan harga pasaran, maka pengambilan manfaat yang demikian dibolehkan, karena pemanfaatan yang demikian bukan manfaat disebabkan karena hutang-piutang, melainkan termasuk akad ijarah.

Adapun ketika harta jaminan berupa binatang ternak, maka al-murtahin diberi kewenangan untuk mengambil manfaat dengan cara menunggangi atau memeras susunya, hanya sekedar untuk memenuhi biaya pemeliharan dan perawatannya saja, meskipun tidak diizinkan al-rahin. Argumentasi mereka didasarkan pada hadis sebagaimana tersebut di atas :

الظهر يركب بنفقته إذا كان مرهوناً، ولبَن الدَّر يُشرب بنفقته إذا كان مرهوناً، وعلى الذي يركب ويشرب النفقة

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lain di atas, bahwa akad al-rahn bertujuan al-tautsiq li al-dain yaitu sebagai jaminan hutang al-rahin, oleh karena itu benda jaminan ditetapkan harus berada di tangan al-murtahin, tujuan utamanya adalah agar al-murtahin dapat menjual benda tersebut dan sebagian atau seluruh harga jualnya digunakan untuk melunasi hutang al-rahin, ketika ia cidra janji.

Akad al-rahn bukanlah akad pemindahan kepemilikan dari al-rahin kepada al-murtahin, dengan demikian menurut hukum al-murtahin tidak memiliki kewenangan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut, karena kepemilikannya demikian pula kemanfaatannya tetap dimilik al-rahin sebagai pemilik asal. Oleh karena itu al-murtahin tidak dapat mengambil manfaat benda yang dijaminkan kepadanya secara mutlak tanpa izin al-rahin, apabila al-murtahin tetap mengambil manfaat terhadap benda tersebut, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan melawan hukum dan al-murtahin bertanggung jawab atas segala konsekwensinya.

Al-Imam Al-Syaukany lebih lanjut menjelaskan berkaitan dengan hadis-hadis tersebut di atas, bahwa subjek hukum (pengguna barang jaminan) yang dimuat dalam hadis-hadis tersebut adalah al-murtahin  (penerima jaminan), bukan penjamin (al-rahin), sesuai dengan qarenah bahwa pada dasarnya yang berhak mengambil manfaat benda jaminan adalah al-rahin, karena ia sebagai pemilik benda tersebut, akan tetapi yang dimaksud pemanfaatan dalam hadis tersebut adalah pemanfaatan untuk membiayai benda jaminan tersebut. Oleh karena itu pemanfaatan dalam hal ini secara spesifikasi dikhususkan untuk murtahin, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis berikutnya yang dikuatkan pula dengan hadis yang diriwayatkan Hammad bin Salamah dengan redaksi :

إذَا ارْتَهَنَ شَاةً شَرِبَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ لَبَنِهَا بِقَدْرِ عَلَفِهَا، فَإِنْ اسْتَفْضَلَ مِنْ اللَّبَنِ بَعْدَ ثَمَنِ الْعَلَفِ فَهُوَ رِبًا

Artinya “Apabila seekor kambing dijadikan sebagai jaminan hutang, maka al-murtahin dapat mengambil susunya dengan ukuran sesuai yang dibutuhkan untuk pemeliharaannya, apabila pengambilan susu itu berlebih dari harga pemeliharaan, maka kelebihan itu merupakan riba’.”

Hadis ini menunjukan bahwa al-murtahin boleh mengambil manfaat dari benda yang dijaminkan kepadanya, selama dibutuhkan untuk pemeliharaan benda tersebut, walaupun tanpa seizin al-rahin sebagai pemilknya. Doktrin hukum ini sesuai pendapat Imam Ahamd, Ishaq, Al-Lais, Al-Hasan dan lain sebagainya. Sedangkan menurut pendapat Al-Imam Al-Syafi’iy, Imam Hanafi, Imam Malik dan mayoritas ulama pada umumnya bahwa al-murtahin tidak dapat mengambil sesuatu apapun sebagai manfaat dari benda yang dijaminkan kepadanya, melainkan kemanfaatan benda tersebut harus dikembalikan kepada al-rahin dan biaya pemeliharaan dibebankan kepadanya. Hadis-hadis tersebut satu dengan yang lain terjadi saling pertetangan, pada satu sisi membolehkan memanfaatkan benda jaminan oleh bukan pemiliknya dan pada sisi yang lain ia bertanggung jawab dengan nafkahinya bukan dengan nilai harga jualnya. Ibnu Abd Al-Bar menyatakan bahwa hadis tersebut perlu di pahami dengan memahami hadis-hadis lain yang keshahihannya tidak diragukan lagi atau paling tidak pemahamannya dikompromikan dengan hadis-hadis yang lainnya itu, karena terdapat hadis yang nyata-nyata melarang al-murtahin mengambil manfaat dari benda yang dijaminkan kepadanya, sebagaimana hadis Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Al-Bukhary dengan redaksi :

لَا تُحْلَبُ مَاشِيَةُ امْرِئٍ بِغَيْرِ إذْنِهِ

Artinya “janganlah diperas susu binatang ternak seseorang yang dijadikan jaminan hutang, tanpa seizinnya”

Cara mengkompromikan kedua hadis tersebut menurut Al-Auza’iy, Al-Lais dan Abu Tsur adalah apabila al-rahin  tidak mau membayar biaya pemeliharaan al-marhun yang dijadikan jaminan hutangnya, maka dalam hal ini al-murtahin dibolehkan untuk mengambil manfaat al-marhun dan kemanfaatannya itu digunakan untuk pemeliharaan benda tersebut bukan bertujuan untuk profit (keuntungan).

Ketika al-rahin memberi izin kepada al-murtahin untuk mengambil manfaat benda yang dijaminkan kepadanya, dalam hal ini harus dibedakan antara izin yang disyaratkan dalam akad dan izin yang terpisah dengan akad. Apabila dalam akad disyaratkan adanya izin al-rahin agar al-murtahin dapat memanfaatkan benda yang dijaminkan, maka syarat yang demikian termasuk syarat fasid yang berakibat merusak akad al-rahn, karena syarat yang demikian bertentangan dengan tujuan akad, yaitu berfungsi untuk al-tautsiq (kepercayaan), hal mana dengan adanya jaminan tersebut al-murtahin percaya dan yakin uang atau barang yang dipinjamkan kepada al-rahin akan kembali tepat waktu. Selain itu akad al-rahn bukanlah akad yang memberikan kewenangan untuk mengambil manfaat dari benda yang dijaminkan. Demikian pula syarat dibolehkan mengambil manfaat dalam akad akan menimbulkan kemadaratan di pihak lain yang dalam hal ini al-rahin.

Adapun bila izin al-rahin terpisah dengan akad atau bukan merupakan syarat dalam akad dan tidak pula menjadi budaya dalam masyarakat, maka menurut hukum al-murtahin dibolehkan untuk memanfaatkan al-marhun selama tidak merugikan pihak lain.

  1. PENGAMBILAN MANFAAT HARTA GADAI ADAT DI INDONESIA AGAR TERHINDAR DARI RIBA.

 Sebagaimana telah dijelaskan di atas gadai dalam berbagai macam terminology substansinya memiliki pengertian yang sama, yaitu menjaminkan harta milik baik berupa benda bergerak maupun benda tetap atas sejumlah hutang tertentu. Dengan demikian akad gadai (al-rahn) bukanlah akad yang berfungsi untuk memindahkan kepemilikan dari al-rahin kepada al-murtahin, melainkan sebagai akad al-tautsiq yang berguna menjaga ketika al-rahin ingkar janji untuk melunasi hutangnya kepada al-murtahin.

Benda yang digadaikan atau al-marhun adakalanya benda bergerak, seperti mobil, motor, perhiasan dan lain-lain dan adakalanya benda tetap seperti tanah pesawahan, perkebunan, rumah kediaman dan lain-lain.

Ketika benda gadai termasuk benda bergerak, dari sisi hukum tidak ditemukan kesulitan, karena benda tersebut secara langsung dapat diserahkan kepada al-murtahin untuk disimpan dan diamankan serta biaya pemeliharaannya di bebankan kepada al-rahin atau berdasarkan kesepakatan bersama. Persoalan hukum yang menjadi permasalahan, ketika benda gadai termasuk benda tidak bergerak atau benda tetap seperti tanah pesawahan, perkebunan, rumah kediaman dan lain-lain. Dalam gadai adat benda tetap tersebut (terutama dalam gadai sawah atau tanah) dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemegang gadai tanpa harus ada izin dari pemilik tanah itu.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas di satu sisi sawah yang statusnya telah menjadi agunan hutang dalam gadai, hampir menurut seluruh ulama (mayoritas) tidak dapat diambil manfaatnya oleh pemegang gadai kecuali ada izin dari pemiliknya dalam batasan praktek pemanfaatan tanah tersebut tidak menjadi budaya dalam masyarakat. Artinya meskipun pemanfaatan sawah tersebut diizinkan oleh pemiliknya, akan tetapi ketika pemanfaatan sawah tersebut telah menjadi budaya dalam masyarakat sebagai imbalan dari uang yang dipinjamkan, maka izin dalam hal ini tidak berlaku. Oleh karena itu pemanfaatan sawah gadai oleh pemegang gadai terdapat larangan Syara’. Menurut pendapat ulama yang lain pemegang gadai tidak dapat memanfaatkan harta gadai secara mutlak, baik ada izin maupum tidak ada izin dari pemiliknya. Sebab izin dalam praktek bermuamalah seperti itu tidak diperkenankan.

Disisi lain menurut sebagian ulama pemilik sawah juga tidak dapat mengambil manfaat dari sawahnya tersebut yang telah diserahkan kepada pemegang gadai kecuali atas seizinnya dengan alasan bahwa qabadl (memegang kekuasaan atau menguasai harta gadai) adalah merupakan hak pemegang gadai dan merupakan syarat lazim (pengikat) akad gadai. Bila pemegang gadai al-murtahin tidak mengizinkan kepada orang yang menggadaikan untuk mengambil manfaat harta atau sawah yang digadaikannya, maka menurut hukum pemanfaatan sawah gadai tersebut tidak diperbolehkan.

Dari dua sisi tersebut menimbulkan problem hukum, hal mana pemegang gadai hanya berhak menahan status kepemilikan sawah yang digadaikan kepadanya untuk sementara waktu agar pemilik sawah tidak mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dengan tanpa memiliki hak untuk mengambil manfaat dari sawah tersebut. Sedangkan orang yang menggadaikan hanya berstatus pemilik sawahnya dengan tanpa memiliki kewenangan untuk mengambil manfaat dari sawah tersebut. Oleh karena itu sawah tersebut akan menjadi tanah yang dibiarkan terlantar yang semestinya bermanfaat baik untuk tujuan pribadi maupun social.

Problem hukum ini dapat diselesaikan dengan baik, ketika tanah tersebut telah memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat hak milik. Sehingga karena gadai substansinya hanya berupa jaminan dengan menahan status kepemilikannya, maka pemegang gadai diberi kewenangan untuk memegang sertifikat hak milik tersebut, sedangkan wujud bendanya tetap dimanfaatkan dan diolah oleh orang yang menggadaikan. Akan tetapi masalah yang terjadi dalam masyarakat selain masih banyak tanah-tanah yang belum bersertifikat, juga orentasi gadai telah beralih fungsi dan tujuannya dari fungsi penjaminan hutang menjadi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hampir tidak akan ditemukan dalam masyarakat seorang menggadaikan sawah miliknya atas hutang sejumlah uang dengan hanya menyerahkan sertifikatnya saja kepada pemilik uang itu, sedangkan sawahnya tetap dikuasai olehnya. Ada atau tidak adanya sertifikat hak milik atas tanah di masyarakat tidak pernah dipersoalkan yang lebih penting tanahnya diserahkan kepada pemilik uang untuk dikelola dan dimanfaatkan selama hutangnya tersebut belum dikembalikan (ditebus).

Dari uraian di atas menurut penulis gadai adat yang terjadi dan dilakukan di masyarakat Indonesia pada umumnya bukanlah gadai dalam pengerian al-rahn atau jaminan hutang melainkan lebih memiliki kemiripan dengan bay’u al-wafa (jual beli dengan hak penebusan), oleh karena itu solusi terbaik dan sepatutnya agar terhindar dari riba, praktek bermu’amalah yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun tersebut tidak lagi menggunakan skema gadai atau al-rahn, melainkan menggunakan skema jual beli dengan hak penebusan (bay’u al-wafa), akibat hukumnya pembeli halal mengelola dan memanfaatkan tanah yang telah dibelinya dan pembeli terikat dengan hak tebus penjual ketika ia mengembalikan uangnya.

Ada sebagian pendapat sebagaimana dijelaskan di atas bahwa jual beli bentuk ini adalah jual beli yang tidak sah, karena harga tanah yang dijual biasanya di bawah harga pasaran paling tidak setengah harga, sehingga berpotensi menguntugkan pembeli dan merugikan penjual. Dalam hal ini penulis berpendapat sebagaimana telah berlaku umum dalam gadai adat bahwa besaran jumlah uang yang dipinjamkan dari pemilik uang kepada peminjam dalam sekema gadai adat didasarkan kepada kesepakatan bersama dan biasanya di bawah harga pasaran dari tanah yang digadaikan. Praktek yang demikian yang berlaku di masyarakat paling tidak ada dua alasan pokok, yaitu :

  1. Uang yang dibutuhkan pemilik tanah bukan sejumlah uang yang setara dengan harga pasar tanah miliknya.
  2. Tidak memberatkan pemilik tanah untuk melakukan penebusan.

Setelah gadai adat dialihkan menjadi bay’ al-wafa, maka uang yang menjadi obyek pinjaman dalam gadai adat, akan berubah menjadi harga barang atau tanah dalam jual beli dengan hak penebusan (bay’ al-wafa), dengan demikian dalam hal ini yang menjadi masalah bolehkah jual beli tanah dengan harga jauh di bawah harga pasaran.

Substansi pokok asas-asas yang berlaku dalam perjanjian jual beli adalah asas ridla, ittifaqiyah, huriyah, luzum dan ikhthiyati. Selama memenuhi rukun dan sarat serta tidak melanggar asas-asas tersebut, maka jual beli yang dilakukan harus dianggap sah menurut hukum, meskipun harga obyek jual beli di bawah harga pasaran, praktek jual beli semacam ini seperti menjual barang dengan adanya potongan harga (diskon) selama didalamnya tidak terdapat unsur manipulative dan tipudaya. Berbeda dengan jual beli yang didalamnya terdapat unsur ghabn. Ghabn adalah salah satu unsure yang merusak akad jual beli, karena adanya ketidak seimbangan harga jual dengan harga pasar yang didasarkan pada rekayasa atau panipulasi atau menyembunyikan harga pasar yang sebenarnya. Sedangkan harga benda dalam bay’ al-wafa atau gadai adat kedua belah pihak mengetahui harga pasar yang sebenarnya, kedua belah pihak sepakat menjual belikan benda atau tanah dengan harga dibawah harga pasaran, karena terikat dengan hak penebusan sebagaimana telah dijelaskan di atas dan hal yang demikian dibolehkan menurut hukum.        

 

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan tersebut di atas, izinkan penulis menarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :

  1. Praktek bay’ al-wafa (jual beli dengan hak penebusan) memiliki kemiripan dengan praktek gadai adat yang telah berlaku secara terus menerus dan turun temurun.
  2. Mengambil manfaat dari benda yang menjadi obyek jual beli dalam bay’ al-wafaoleh pembelinya hukumnya sah dan halal.
  3. Mengambil manfaat benda yang menjadi obyek gadai dalam gadai adat oleh pemegang gadai hukumnya riba dan haram.
  4. Akad jual beli disertai dengan janji (bay’ al-wafa) dapat dijadikan solusi menjawab persoalan muamalah dalam masyarakat untuk menggantikan akad gadai adat agar terhindar dari riba yang diharamkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’at Al-Sajastany, Sunan Abu dawud Bairut: Dar Al-Fikr, T.th.

Al-Bahuthy, Manshur bin Yunus Bin Idris, Al-Raudl Al-Murabbi’u Syarh Zad Al-Mustaqni’,Al-Riyadl: Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah, 1290 H dalam Maktabah Fikih Hambali

Al-Baihaqy, Ahmad bin Al-Husain  bin Aly bin Musa Abu Bakar, Sunan Al-Kubra’ Li Al-Baihaqy, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003.

Al-Bukhary, Aby Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Aby Al-Mughirah Bin Bardizbah,  Shahih Al-Bukhary, Dar Thawuq Al-Najjah, 1422 H.

Al-Damsyiqy, Muhammad Amin bin Umar bin Abd Al-Aziz ‘Abidin, Hasyiah Radd Al-Mukhtar ‘Ala Al-Dur Al-Mukhtar, Bairut: Dar Al-Fikr, 2000

Al-Dasuqy, Muhammad, Hasyiah Al-Dasuqy Ala Al-Syarh Al-Kabir, (Bairut: Dar Al-Fikr, T,th)

Al-Dardir, Sayyid Ahmad Abu Barkat, Al-Syarh Al-Kabir, Bairut: Dar Al-Fikr, T.th.

Al-Daruquthny, ‘Aly bin Ummar Abu Al-Hasan, Sunan Al-Daruquthny, Bairut: Daar Al-Ma’rifah, 1966.

Al-Haskafy, Muhammad ‘Alauddin Al-Dur Al-Mukhtar,  Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2002.

Al-Jaziry, Abd Al-Rahman, Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, Bairut: Dar Al-Fikr  1969

---------------------------,  Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2002.

Al-Kasany, Ala’u Al-Din Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad , Bada’i’u Al-Shana’iu fi Tartb Al-Syara’iy, Bairut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, 1982 diterbitkan kembali oleh Dar Al-Kutub Al-Ilmiah 1986.

Al-Nawawy, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarif, Raudlah Al-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin,Bairut: Al-Maktab Al-Islamy, 1405 H.

---------------------------, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, (Bairut: Dar Al-Fikr, T.th),

Al-Nasa’iy, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman, Sunan Al-Kubra’ Li  Al-Nasa’iy, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1991.

Al-Qurthuby, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bi Abu Bakr bin Farah Al-Anshary Al-Khazraji Syamsuddin, Al-Jami Li Ahkam Al-Qur’an Al-Karim Al-Syahir bi Tafsir Al-Qurthuby, Riyadl: Dar ‘Alim Al-Kutub Al-Mamlakah Al-Su’udiyah 2003.

Al-Qurthuby, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Abd Al-Bar, Al-Kafy  fi Fiqh Ahl Al-Madinah,Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1407 H.

Al-Sarkhasy, Muhammad bin Ahmad bin Aby Sahal Syams Al-‘Aimmah, Al-Mabsuth, Bairut: Dar Al-Ma’rifah, 1993.

Al-Sayuthy, Al-Imam Jalal Al-Din ‘Abd Al-Rahman, Tanwiir Al-Haulik Syarah ‘Ala Muatha Imam Malik, Bairut: Dar Al-Fikr, T.th

Al-Shabuny, Muhammad Aly, Rawa’i al-Bayan Tafsiir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz II, halaman 52

Al-Shan’any, Muhammad bin Ismail bin Shalah bin Muhammad, Subul Al-Salam, Bairut: Daar Al-Hadits, T.th.

Al-Shawy, Abu Al-Abas Ahmad bin Muhammad, Al-Syarh Al-Shaghir Al-Syahir bi Hasyiah Al-Shawy, Bairut: Dar Al-Ma’arif, T.th

Al-Siwasy, Kamaluddin Muhammad bin Abd Al-Wahid, Syarah Fath Al-Qadir, Bairut: Dar Al-Fikr, T.th

Al-Syafi’iy, Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Um, Bairut: Da Al-Ma’rifah, 1929 H.

Al-Syairazy, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Aly bin Yusuf,  Al-Muhadzab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’iy, Bairut: Dar Al-Fikr, T.th.

Al-Syanqithy, Muhammad Al-Amiin bin Muhammad Al-Mukhtar bin Abd Al-Qadir, Adlwa’u al-Bayan fi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, Libanon bairut: Dar Al-Fikr, 1995.

Al-Syarbiny, Muhammad Al-Khathib, Al-Iqna’ fi Alfadh Aby Syuja’, Bairut: Dar Al-Fikr, 1415 H.

-----------------------------, Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Al-fadz Al-Minhaj, Bairut:  Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1994.

Al-Syaukany, Muhammad bin ‘Aly Bin Muhammad Bin ‘Abdillah, Tafsir Fath Al-Qadir Bairut: Dar Ibnu Katsir, cet. I, 1414 H. dalam http://www.mawsoah.net

-----------------------------, Nail Al-Authar, Mesir: Dar Al-Hadis, 1993

Al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katrsir bin Ghalim Al-Amaly Abu Ja’far, Jami’ Al-bayan fi Ta’wil Al-Qur’an Al-Syahir bi Tafsir Al-Thabary,  Bairut: Muassasah Al-Risalah 2003)

Al-Turmudzy, Muhammad bin Isa Abu Isa Al-Salimy, Al-Jami’ Al-Shahih Sunan Al-Turmudzy, Bairut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Araby, T.th

Al-Usaimin, Muhammad bin Shalih bin Muhammad, Syarhu Al-Mumti’ Ala Zad Al-Mustaqni’, Tahqiq Kholid Al-Musyaiqih, Dar Ibnu Al-Jauzy, 1428 H.

Al-Zuhaily, Wahbah, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Bairut: Dar Al-Fikr, Cet. III, 1989

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 94 Tahun 2014 tentang Bay’ Al-Wafa.

Fuad, Muhammad, Abd Al-Baqy, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li al-faadh Al-Qur’an Al-Kariim, Bairut: Dar Al-Fkr, 1987.

Ibnu Aby Taghlib, Tahqiiq Muhamad Sulaiman Al-Asyqar, Nail Al-Maarib Bi Syarh Dalil Al-Thalib, dalam Maktabah Al-Syamilah http://www.mawsoah.net

Ibnu ‘Abidin, Muhammad Amin bin Umar bin Abd Al-Aziz Al-Damsyiqy, Hasyiah Rad Al-Mukhtar ‘Ala Al-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar Fqh Abu Hanifah Bairut: Dar Al-Fikr, 2000.

Ibnu ‘Athiyah, Tahqiq ‘Abdullah Ibrahiim Al-Anshary, Al-Muharar Al-Wajiiz Fi Tafsiir Al-Kitab Al-‘Aziiz,dalam Maktabah Al-Syamilah http://www.mawsoah.net

Ibnu Hajar, Ahmad bin Muhammad bin Aly Al-Haitamy, Tuhfah Al-Muhtaj Syarah Al-Minhaj, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah Al-Kubra’, 1982.

Ibnu Hajar, Ahmad Aly, Abu Al-Fadli Al-Atsqalaany, Fath Al-Bary bi Syahr Shahih Al-Bukhary, Bairut: Dar Al-Ma’rifah, 1379 H.

Ibnu Majah, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid Al-Quzwainy, Sunan Ibnu Majjah, Maktabah Aby Al-Mu’aathy, T.th.

Ibnu Nujaim, Zain Al-Din, Al-Bahr Al-Ra’iq,Bairut: Dar Al-Ma’rifah, T.th.

Ibnu Katsir, Abu Al-Fidaa’ Ismail bin ‘Amr Al-Damsyiqy, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim Al-Syahir bi Tafsir Ibnu Katsir,Bairut: Dar Thayyibah Li Al-Nasyr wa Al-Tawzi’, 1999

Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Muwafiq Al-Din Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al-Muqdasy, Al-Mughni,  Maktabah Al-Qahirah, 1968.

Ibnu Qudamah, Syamsu Al-Din Aby Muhammad ‘Abd Al-Rahman Bin Syekh Aby Amr Muhammad Bin Ahmad Al-Muqdasy,  Syarh al-Kabir ‘Ala Al-Muqhni, dalam http://www.shamela.ws

Ibnu Rusyd, Abu Al-Wuled Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby, Bidayah Al-Mujtahid Wa Nihayah Al-Muqtashid, Mesir: Dar Al-Hadis 1425 H, 2004 M.

Ibnu Taimiyah,Taqy Al-Din Abu Al-‘Abas Ahmad bin Abdulhalim ‘Abd Al-Salam bin Abdillah  bin Aby Al-Qasim bin Muhammad Al-Harany, Al-Ikhiyarat  Al-Fiqhiyah Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1995.

----------------------------, Majmu’ Al-Fatawa Al-Kubra,Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1987.

Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubra’, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1994

-----------------------------, Al-Mu’atha’ Malik, Muassasah Zayad Sulthan, 2004

Muhammad bin Muflih, Abu Abdillah Al-Muqdasy, Al-Furu’,  Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 1418 H

Muslim bin Al-Hujjaj Abu Al-Hasan Al-Qusyairy Al-Naisabury, Shahih Muslim, Bairut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Araby, T.th.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2000

Sabiq, Al-Sayid, Fiqh Al-Sunnah, Bairut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, 1983

Salim, H.S,  Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika Cet. III, 2006.

Subekti, R,  Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, cet. XIII. 1991

Subekti, R. SH & R. Tjitrasoedibio, Kamus Hukum,(Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. XIV, 2002.

Subekti, R, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XI, Jakarta, Intermasa, 1975.

Subekti, R,  dan R. Tjitrosudibbio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. XIX, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa zurriyah, 1973.

Zakariya Al-Anshary, Haasyiah Al-Syarqawy ‘Ala Al-Tahrir, Mesir: Dar Ihyaa Al-Kutub Al-‘Arabiyah, T.th.


[rtbs name="tab-home"]
cctv