Artikel Pengadilan

Pembatalan Perkawinan dan Akibat Hukumnya | Oleh : Miftakul Khoiriyah, SHI.

PEMBATALAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Oleh : Miftakul Khoiriyah, SHI

 

Pernikahan adalah sesuatu yang sangat prinsip dalam agama Islam karenanya harus dilaksanakan dengan benar sesuai aturan hukum yang berlaku baik peraturan agama (fikih munakahat) maupun peraturan yang disahkan pemerintah di Indonesia ada hukum positif yang berlaku yang mengatur dan menjadi pedoman bagi instansi pemerintah terkait dan juga masyarakat dalam hal perkawinan adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.[1] Suatu perkawinan dapat putus atau berakhir karena beberapa hal, yaitu karena talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya, atau perceraian atau sebab-sebab lain salah satunya karena fasakh atau pembatalan perkawinan yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas mengenai pengertian pembatalan perkawinan, begitu juga Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan pelaksana dari Undang-undang tersebut, sehingga tidak ada satupun peraturan yang mengatur mengenai pengertian pembatalan perkawinan. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyebutkan”perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.[2]

Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh syarak.[3] Menurut Zainuddin Ali, pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkannya akad nikah.[4] Sedangkan Amir Syarifuddin menyatakan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.[5] Dengan demikian, secara umum batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya suatu perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat-syarat atau rukun-rukun perkawinan.

Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

Pemeriksaan perkara pembatalan perkawinan dilakukan oleh Pengadilan Agama sesuai dengan kewenangan Pengadilan Agama dalam Pasal 49 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006. Perkara tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri.

Alasan – alasan yang digunakan oleh para pihak dalam pengajuan pembatalan nikah tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 70, 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang dilakukan dengan melanggar aturan agama maka perkawinan tersebut batal demi hukum. Sedangkan perkawinan yang dilakukan dengan melanggar ketentuan administratif dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan.

Kehadiran para pihak dalam sidang tersebut sangatlah penting karena hal tersebut berkaitan dengan dalil yang diajukannya. Apabila para pihak tidak hadir dalam sidang tersebut setelah dipanggil secara resmi dan patut, maka para pihak dianggap melepaskan haknya untuk meneguhkan dalilnya ataupun memberikan tanggapan terhadap dalil yang diajukan kepadanya. Dengan ketidakhadiran tersebut, Majelis Hakim dapat memutus perkara tersebut secara verstek, diluar hadir atau gugur bahkan perkara perkara tidak dapat diterima apabila dinilai permohonan tersebut obscure libel.

Pemeriksaan pembatalan perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dilakukan dengan tata cara permohonan perceraian. Meskipun dilaksanakan dengan tata cara perceraian dimana apabila kedua belah pihak hadir dalam sidang, maka Majelis Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak serta memerintahkan para pihak menempuh mediasi. Akan tetapi sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016 disebutkan bahwa perkara pembatalan perkawinan merupakan salah satu perkara yang dikecualikan dari kewajiban mediasi sehingga meskipun kedua belah pihak hadir di persidangan, maka mediasi tidak perlu dilaksanakan.

Dalam memeriksa perkara pembatalan perkawinan, hakim harus jeli menggali permasalahan yang ada. Hakim menggali permasalahan tersebut dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku dimana hal tersebut merupakan kunci dari putusan hakim yang ideal. Pembatalan perkawinan harus mendapat perhatian dari berbagai pihak termasuk hakim yang memeriksa perkara, karena berdampak terhadap anak dan istri. Hak-hak keperdataan anak jangan sampai terabaikan, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk memberikan jaminan bagi terpeliharanya hak-hak keperdataan anak. Hakim berperan penting untuk menjamin hak-hak keperdataan anak lewat putusan-putusannya. Karena anak yang lahir dari perkawinan tersebut harus dilindungi dan diperhatikan kesejahteraan dan kepentingannya, karena anaklah yang paling merasakan akibatnya. Putusan harus memberikan kepastian tentang hak maupun hubungan hukum para pihak yang bersengketa.

Selain memberikan perlindungan terhadap anak, pembatalan perkawinan tersebut juga harus memberikan perlindungan kepada pihak istri sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) butir (b) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa: keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu. Akibat hukum terhadap istri dari pembatalan perkawinan dilihat dari ada tidaknya unsur itikad baik dari kedua pihak. Jika ada unsur itikad baik maka istri berhak atas harta bersama, tetapi tidak mendapatkan nafkah iddah. Dalam pengertian istri tidak mendapat hak-hak perdatanya sebagaimana halnya akibat dari perceraian.

 

                [1] Deni Rahmatillah, Konsep Pembatalan Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Dan Kompilasi Hukum Islam, Hukum Islam, Vol XVII No. 2 Desember 2017, h. 152.

                [2] Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

                [3] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah lengkap, Cet-2, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 195.

                [4] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 37.

                [5] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, h. 242.


[rtbs name="tab-home"]
cctv