Artikel Pengadilan
Metode Istishhab dalam Inferensi Hukum Islam
Oleh : Dedi Jamaludin, Lc.*
- Pendahuluan
Dalam khazanah pemikiran ilmu ushul fikih, metode istishhâb adalah salah satu dari 11 dalil yang diperselisihkan untuk menjadi hujjah/sumber penggalian hukum syariat Islam.[1] Para ulama fikih memandang dalil-dalil tersebut sebagai penyempurna empat dalil yang telah disepakati, yaitu al-Qur'an, al-Sunnah, ijma‘, dan qiyâs. Seandainya qiyâs dan sebelas dalil tersebut tidak menjadi metode konklusi hukum, niscaya syariat Islam akan bersifat kaku. Dengan demikian, keumuman nash yang menjadi bahan penggalian hukum harus diproses melalui metode ijtihad, agar bahan-bahan tersebut bisa diolah sedemikian rupa untuk memberikan solusi terhadap perubahan zaman, tempat, dan hal-hal baru yang membutuhkan pandangan hukum.[2]
Istishhâb mempunyai banyak bagian, namun secara garis besar ia bermakna penetapan hukum di masa sebelumnya, kemudian keberlangsungannya senantiasa diberlakukan di masa sekarang dan akan datang hingga ada dalil yang merubahnya. Dari sebelas dalil tersebut, ia juga termasuk kategori metode ijtihad yang mana keabsahannya diperselisihkan oleh para ulama. Bagi ulama yang sepakat pastinya berpendapat bahwa Istishhâb berperan sebagai instrumen penggalian konklusi hukum. Sebaliknya, ulama yang menentang pastinya juga punya cara tersendiri dalam menghukumi permasalahan. Akhirnya, ke-hujjah-an Istishhâb yang diperselisahkan menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda ketika diterapkan dalam permasalahan-permasalahan fikih.
Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa definisi (yang maknanya sebenarnya hampir sama), macam-macam Istishhâb yang terdiri tujuh bagian beserta pendapat ulama pada masing-masing bagiannya. Selanjutnya, penulis mengikuti metode Imam al-Syaukani dalam menuliskan perselisihan para ulama mengenai keabsahan Istishhâb secara umum dan terakhir adalah peranan Istishhâb itu sendiri dalam wacana hukum fikih beserta pengaruhnya.
Selengkapnya KLIK DISINI